Search your world

TANAMKAN NILAI-NILAI KEHIDUPAN DENGAN KETELADANAN

Penanaman nilai-nilai kehidupan kepada anak didik membutuhkan keteladanan dari guru, orangtua, dan masyarakat. Penanaman nilai-nilai tersebut tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Demikian rangkuman pendapat Kepala Pusat Ku-rikulum Balitbang Depdiknas, Diah Harianti, Ketua STF Driyarkara Jakarta, J Sudarminta, dan Kepala Pengelolaan Yayasan Pendidikan Jaya, Tony Soehartono dalam seminar "Pendidikan Nilai-nilai Kehidupan: Menuju Manusia Indonesia yang Bermartabat dan Berbudaya" di Jakarta, Sabtu (18/11). Seminar yang digelar Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya Jakarta ini juga menghadirkan pembicara lain, seperti Daniel Sparringa, Engelina T Bonang, dan Astrid Gisela Herabadi.

Menurut Diah, berbagai permasalahan yang muncul dewasa ini, seperti maraknya kekerasan di jalanan, keluarga, dan sekolah, perilaku korupsi, perusakan lingkungan, etika yang menipis, kurangnya tanggung jawab dan tenggang rasa, memunculkan "gugatan" tentang hal-hal apa saja yang diajarkan di sekolah dan perguruan tinggi, termasuk kebijakan Depdiknas untuk menanamkan nilai-nilai kehidupan kepada anak didik.

Dalam peraturan perundangan disebutkan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional itu, lanjut Diah, diterjemahkan ke dalam standar isi pendidikan, selanjutnya ke kurikulum tingkat satuan pendidikan. Dalam mata pelajaran ilmu pengetahuan alam misalnya, nilai-nilai kehidupan yang ingin ditanamkan, antara lain keyakinan terhadap kebesaran Tuhan dan meningkatkan kesadaran untuk berperan serta memelihara, menjaga, dan melestarikan lingkungan alam.

Apabila sekolah merasa mata pelajaran yang dirancang secara nasional masih kurang menanamkan nilai-nilai kehidupan, sekolah berhak mengembangkan mata pelajaran muatan lokal. Misalnya, di Ambon dan Aceh telah dikembangkan pendidikan perdamaian.

"Mata pelajaran yang diberikan kepada anak didik di sekolah telah mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Yang penting adalah teladan guru dan orangtua. Kalau ingin anak-anak sopan, ya kita harus sopan terlebih dahulu. Anak-anak itu melihat contoh," kata Diah.

Panduan

Dalam pandangan J Sudarminta, pendidikan nilai-nilai kehidupan sebagai bagian integral kegiatan pendidikan pada umumnya adalah upaya sadar dan terencana membantu anak didik mengenal, menyadari, menghargai, dan menghayati nilai-nilai yang seharusnya dijadikan panduan bagi sikap dan perilaku sebagai manusia dalam hidup perorangan dan bermasyarakat. Pendidikan nilai akan membuat anak didik tumbuh menjadi pribadi yang tahu sopan-santun, memiliki cita rasa seni, sastra, dan keindahan pada umumnya, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, bersikap hormat terhadap keluhuran martabat manusia, memiliki cita rasa moral dan rohani.

"Pendidikan nilai-nilai kehidupan tidak dapat berlangsung baik kalau tidak ditunjang keteladanan pendidik dan praksis sosial yang kontinu dan konsisten dari lingkungan sosial," katanya.

Sedangkan Tony Soehartono menyatakan, proses belajar-mengajar harus mencakup tiga ranah pendidikan, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Namun, konsep pendidikan di Indonesia cenderung mengarah pada ranah kognitif, sedangkan ranah afektif dan psikomotorik ditempatkan pada peran sekunder.

Dengan melihat kecenderungan itu, Yayasan Pengelola Pendidikan Jaya memberikan mata pelajaran budi pekerti, program pamong, dan program pelatihan motivasi.

"Pendidik secara terus-menerus harus diberi pemahaman bahwa nilai-nilai kehidupan tidak bisa begitu saja diajarkan, tetapi harus disertai keteladanan oleh pendidik itu sendiri," katanya.

Multikulturalisme

Terkait pendidikan nilai, pakar sosiologi-politik Universitas Airlangga Surabaya, Daniel Sparringa menyampaikan pandangan tentang multikulturalisme yang merupakan sebuah formasi sosial yang membukakan jalan bagi dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam, sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk sebuah integrasi.

Menurutnya, mempromosikan multikulturalisme merupakan upaya membangun kesadaran tentang pentingnya kelompok-kelompok etnis dan budaya memiliki kemampuan berinteraksi dalam ruang bersama. Untuk itu, diperlukan pendekatan pro-eksistensi yang menggeser pendekatan ko-eksistensi yang selama ini dianggap menjadi dasar multikulturalisme.

"Prinsip pro-eksistensi ditandai tidak saja oleh hadirnya kualitas hidup berdampingan secara damai, tetapi juga kesadaran untuk ikut menjadi bagian dari usaha memecahkan masalah yang dihadapi kelompok lain. Prinsip pro-eksistensi mengundang hadirnya nilai-nilai solidaritas sosial, empati sosial, dan humanisme," kata Daniel. (Adapted from Suara Pembaruan, 20 November 2006)

[yap/pr-11/06]

0 komentar:

Posting Komentar